MENGAPA HARUS SALAFI ?
oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
MUQADIMAH
Masih
banyak di antara kita yang mempertanyakan apa itu Salafi, dan mengapa harus Salafi
.?. Sebagian kaum muslimin malahan menilai bahwa kata-kata Salafi menunjukkan
sikap fanatik, bahkan lebih jauh lagi dikatakan sebagai sikap ta’assub terhadap
kelompok tertentu serta mengecilkan orang lain, dan yang lebih parah lagi
adalah ; mereka mengatakan bahwa Salafi merupakan istilah baru dalam Islam.
Benarkah
persangkaan tersebut…! Dibawah ini kami nukilkan jawaban dari Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani rahimahullah di majalah Al-Ashalah edisi 9/Th.II/15
Sya’ban 1414H dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 09/th.III/1419H-1999.
Mengenai pertanyaan yang ditujukan kepada beliau, yang tidak jauh berbeda
dengan permasalahan di atas.
Pertanyaan
yang ditujukan kepada Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, adalah
sebagai berikut :
“Mengapa
perlu menamakan diri dengan Salafiyah, apakah itu termasuk dakwah Hizbiyyah,
golongan, madzhab atau kelompok baru dalam Islam ..?”
Jawaban
beliau adalah sebagai berikut :
Sesungguhnya
kata “As-Salaf” sudah lazim dalam terminologi bahasa Arab maupun syariat Islam.
Adapun yang menjadi bahasan kita kali ini adalah aspek syari’atnya. Dalam
riwayat yang shahih, ketika menjelang wafat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepada Sayidah Fatimah radyillahu ‘anha :
“Artinya
: Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, sebaik-baik “As-Salaf” bagimu
adalah Aku”.
Dalam
kenyataannya di kalangan para ulama sering menggunakan istilah “As-Salaf”. Satu
contoh penggunaan “As-Salaf” yang biasa mereka pakai dalam bentuk syair untuk
menumpas bid’ah :
“Dan
setiap kebaikan itu terdapat dalam mengikuti orang-orang Salaf”.
“Dan
setiap kejelekan itu terdapat dalam perkara baru yang diada-adakan orang
Khalaf”.
Namun
ada sebagian orang yang mengaku berilmu, mengingkari nisbat (penyandaran diri)
pada istillah SALAF karena mereka menyangka bahwa hal tersebut tidak ada
asalnya. Mereka berkata : “Seorang muslim tidak boleh mengatakan “saya seorang
salafi”. Secara tidak langsung mereka beranggapan bahwa seorang muslim tidak
boleh mengikuti Salafus Shalih baik dalam hal aqidah, ibadah ataupun ahlaq”.
Tidak
diragukan lagi bahwa pengingkaran mereka ini, (kalau begitu maksudnya) membawa
konsekwensi untuk berlepas diri dari Islam yang benar yang dipegang para
Salafus Shalih yang dipimpin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya
: Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian
sesudahnya”. (Hadits Shahih Riwayat Bukhari, Muslim).
Maka
tidak boleh seorang muslim berlepas diri (bara’) dari penyandaran kepada
Salafus Shalih. Sedangkan kalau seorang muslim melepaskan diri dari penyandaran
apapun selain Salafus Shalih, tidak akan mungkin seorang ahli ilmupun
menisbatkannya kepada kekafiran atau kefasikan.
Orang
yang mengingkari istilah ini, bukankah dia juga menyandarkan diri pada suatu
madzhab, baik secara akidah atau fikih ..?. Bisa jadi ia seorang Asy’ari,
Maturidi, Ahli Hadits, Hanafi, Syafi’i, Maliki atau Hambali semata yang masih
masuk dalam sebutan Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Padahal
orang-orang yang bersandar kepada madzhab Asy’ari dan pengikut madzhab yang
empat adalah bersandar kepada pribadi-pribadi yang tidak maksum. Walau ada juga
ulama di kalangan mereka yang benar. Mengapa penisbatan-penisbatan kepada
pribadi-pribadi yang tidak maksum ini tidak diingkari ..?
Adapun
orang yang berintisab kepada Salafus Shalih, dia menyandarkan diri kepada
ISHMAH (kemaksuman/terjaga dari kesalahan) secara umum. Rasul telah
mendiskripsikan tanda-tanda Firqah Najiah yaitu komitmennya dalam memegang
sunnah Nabi dan para sahabatnya. Dengan demikian siapa yang berpegang dengan
manhaj Salafus Shalih maka yakinlah dia berada atas petunjuk Allah ‘Azza wa
Jalla.
Salafiyah
merupakan predikat yang akan memuliakan dan memudahkan jalan menuju “Firqah
Najiyah”. Dan hal itu tidak akan didapatkan bagi orang yang menisbatkan kepada
nisbat apapun selainnya. Sebab nisbat kepada selain Salafiyah tidak akan
terlepas dari dua perkara :
- Pertama, menisbatkan diri
kepada pribadi yang tidak maksum.
- Kedua, menisbatkan diri kepada
orang-orang yang mengikuti manhaj pribadi yang tidak maksum.
Jadi
tidak terjaga dari kesalahan, dan ini berbeda dengan ISHMAH para shahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan supaya kita berpegang teguh terhadap sunnahnya dan sunnah para
sahabat setelahnya.
Kita
tetap terus dan senantiasa menyerukan agar pemahaman kita terhadap Al-Kitab dan
As-Sunnah selaras dengan manhaj para sahabat, sehingga tetap dalam naungan
ISHMAH (terjaga dari kesalahan) dan tidak melenceng maupun menyimpang dengan
pemahaman tertentu yang tanpa pondasi dari Al-Kitab dan As-Sunnah.
Mengapa
sandaran terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah belum cukup ..?
Sebabnya
kembali kepada dua hal, yaitu hubungannya dengan dalil syar’i dan fenomena
Jama’ah Islamiyah yang ada.
Berkenan
dengan sebab pertama.
Kita
dapati dalam nash-nash yang berupa perintah untuk menta’ati hal lain disamping
Al-Kitab dan As-Sunnah sebagaimana dalam firman Allah :
“Artinya
: Dan taatilah Allah, taatilah Rasul dan Ulil Amri diantara kalian”.
(An-Nisaa
: 59).
Jika
ada Waliyul Amri yang dibaiat kaum Muslimin maka menjadi wajib ditaati seperti
keharusan taat terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah. Walau terkadang muncul
kesalahan dari dirinya dan bawahannya. Taat kepadanya tetap wajib untuk menepis
akibat buruk dari perbedaan pendapat dengan menjunjung tinggi syarat yang sudah
dikenal yaitu :
“Artinya
: Tidak ada ketaatan kepada mahluk di dalam bemaksiat kepada Al-Khalik”. (Lihat
As-Shahihah No. 179).
“Artinya
: Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan mereka
berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan dia
ke dalam Jahannan dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (An-Nisaa : 115).
Allah
Maha Tinggi dan jauh dari main-main. Tidak disangkal lagi, penyebutan SABIILIL
MU’MINIIN (Jalan kaum mukminin) pasti mengandung hikmah dan manfa’at yang
besar. Ayat itu membuktikan adanya kewajiban penting yaitu agar ittiba’ kita
terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah harus sesuai dengan pemahaman generasi Islam
yang pertama (generasi sahabat). Inilah yang diserukan dan ditekankan oleh
dakwah Salafiyah di dalam inti dakwah dan manhaj tarbiyahnya.
Sesungguhnya
Dakwah Salafiyah benar-benar akan menyatukan umat. Sedangkan dakwah lainnya
hanya akan mencabik-cabiknya. Allah berfirman :
“Artinya
: Dan hendaklah kamu bersama-sama orang-orang yang benar”. (At-Taubah : 119).
Siapa
saja yang memisahkan antara Al-Kitab dan As-Sunnah dengan As-Salafus Shalih
bukanlah seorang yang benar selama-lamanya.
Adapun
berkenan dengan sebab kedua.
Bahwa
kelompok-kelompok dan golongan-golongan (umat Islam) sekarang ini sama sekali
tidak memperhatikan untuk mengikuti jalan kaum mukminin yang telah disinggung
ayat di atas dan dipertegas oleh beberapa hadits.
Diantaranya
hadits tentang firqah yang berjumlah tujuh puluh tiga golongan, semua masuk
neraka kecuali satu. Rasul mendeskripsikannya sebagai :
“Dia
(golongan itu) adalah yang berada di atas pijakanku dan para sahabatku hari
ini”.
Hadits
ini senada dengan ayat yang menyitir tentang jalan kaum mukminin. Di antara
hadits yang juga senada maknanya adalah, hadits Irbadl bin Sariyah, yang di
dalamnya memuat :
“Artinya
: Pegangilah sunnahku dan sunnah Khulafair Rasyidin sepeninggalku”.
Jadi
di sana ada dua sunnah yang harus di ikuti : sunnah Rasul dan sunnah Khulafaur
Rasyidin.
Menjadi
keharusan atas kita -generasi mutaakhirin- untuk merujuk kepada Al-Kitab dan
As-Sunnah dan jalan kaum mukminin. Kita tidak boleh berkata : “Kami mandiri
dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah tanpa petunjuk Salafus As-Shalih”.
Demikian
juga kita harus memiliki nama yang membedakan antara yang haq dan batil di
jaman ini. Belum cukup kalau kita hanya mengucapkan :”Saya seorang muslim
(saja) atau bermadzhab Islam. Sebab semua firqah juga mengaku demikian baik
Syiah, Ibadhiyyah (salah satu firqah dalam Khawarij), Ahmadiyyah dan yang lain.
Apa yang membedakan kita dengan mereka ..?
Kalau
kita berkata : Saya seorang muslim yang memegangi Al-Kitab dan As-Sunnah. ini
juga belum memadai. Karena firqah-firqah sesat juga mengklaim ittiba’ terhadap
keduanya.
Tidak
syak lagi, nama yang jelas, terang dan membedakan dari kelompok sempalan adalah
ungkapan : “Saya seorang muslim yang konsisten dengan Al-Kitab dan As-Sunnah
serta bermanhaj Salaf”, atau disingkat “Saya Salafi”.
Kita
harus yakin, bersandar kepada Al-Kitab dan As-Sunnah saja, tanpa manhaj Salaf
yang berperan sebagai penjelas dalam masalah metode pemahaman, pemikiran, ilmu,
amal, dakwah, dan jihad, belumlah cukup.
Kita
paham para sahabat tidak berta’ashub terhadap madzhab atau individu tertentu.
Tidak ada dari mereka yang disebut-sebut sebagai Bakri, Umari, Utsmani atau
Alawi (pengikut Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali). Bahkan bila seorang di antara
mereka bisa bertanya kepada Abu Bakar, Umar atau Abu Hurairah maka bertanyalah
ia. Sebab mereka meyakini bahwa tidak boleh memurnikan ittiba’ kecuali kepada
satu orang saja yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tidak
berkata dengan kemauan nafsunya, ucapannya tiada lain wahyu yang diwahyukan.
Taruhlah
misalnya kita terima bantahan para pengkritik itu, yaitu kita hanya menyebut
diri sebagai muslimin saja tanpa penyandaran kepada manhaj Salaf ; padahal
manhaj Salaf merupakan nisbat yang mulia dan benar. Lalu apakah mereka
(pengkritik) akan terbebas dari penamaan diri dengan nama-nama golongan madzhab
atau nama-nama tarekat mereka .? Padahal sebutan itu tidak syar’i dan
salah ..!?.
Allah
adalah Dzat Maha pemberi petunjuk menuju jalan lurus. Wallahu al-Musta’in.
Demikianlah
jawaban kami. Istilah Salaf bukan menunjukkan sikap fanatik atau ta’assub pada
kelompok tertentu, tetapi menunjukkan pada komitmennya untuk mengikuti Manhaj
Salafus Shalih dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Wallahu
Waliyyut-Taufiq.
No comments:
Post a Comment